Bojonegoro :Adalah penghasil sumber minyak mentah terbesar di indonesia,menara anjungan industri menjulang dengan gagahnya menambah identitas bahwa bojonegoro sebagai kota industri,kabupaten yang sangat kaya,kemajuan dalam pembangunan tentu saja sangat membantu kemakmuran perekonomian untuk warganya.
Tetapi “IRONI” mungkin itulah kata yang tepat untuk mendisk alinea di atas
karna ternyata masih ada warga bojonegoro yang tidak pernah merasakan bagaimana
rasanya hidup makmur di dalam lumuran gemerlapnya dan sangat berharganya segayung “emas hitam”(hasil minyak).
Akankah bumi “Malowopati”masih akan merasa gagah apa bila masih ada rakyatnya hidup miskin,apakah bumi angling darma masih merasa hebat apa bila masih ada rumah gubuk yang bocor di antara gedung bertingkat indah dan menara anjungan industri minyak yang tinggi menjulang,IRONI mungkin itu kata yang pantas.
terhitung sudah masuk tahun ke lima perempuan renta ini tinggal sendiri. Di gubuk sangat sederhana, Mbah Kaenah meratapi kelam nasibnya yang tak menentu. Sudut Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur hingga kini masih menjadi tempat berteduh, mengisi sepi menjelang sang Khaliq menjemput.
Sejak sepeninggalan suaminya Jaswadi, tiap hari hanya terbaring. Kaki kanannya menekuk tak bisa dia gerakan. Di pembaringan kayu tanpa selembar kasur sendiri meratapi takdir, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bising prosesi pemboran minyak dan gas bumi (Migas) yang dilakukan di Pad B sumur Sukowati yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) tak lagi mengusiknya. Hiruk pikuk pekerja dari berbagai daerah yang ada di Sukowati pun tak lagi menjadi hiburan.
Di usianya yang memasuki rembang petang, Mbah Kaenah hanya menunggu datangnya warga sekitar. Siapa tahu masih ada yang mau singgah sekadar memberinya seteguk air, untuk melepas dahaga di tengah musim terik yang tak kunjung purna.
Entah skenario apa yang diberikan Tuhan kepada nenek berusia 80 tahun ini. Dia sendiri mengisi hari tuanya, tanpa anak, dan sanak saudara.
“Kamu siapa, Nak? Saya sendirian disini hanya bergantung belas kasihan orang lain,”ujar Mbah Kaenah, saat ku mengunjungi rumahnya yang tidak terawat.
Dalam bahasa yang sulit dipahami, perempuan renta ini bercerita tentang kehidupannya. Saban hari selalu sendiri. Kecuali berbaring, dan memiringkan raganya yang sudah rapuh, tak satupun aktifitas bisa dia lakukan.
“Saya tidak bisa bangun, setiap hari ya seperti ini,” ujarnya terbata-bata dalam bahasa Jawa.
Sesaat berikutnya air bening luruh dari pelupuk matanya. Bermuara di sela bilur keriput wajahnya yang pucat. Sekujur tubuhnya telah letih dimangsa usia, lemah, dan tampak lusuh.
Dia pun tak ingat kapan terakhir kali menyentuh air, walau sekedar untuk membasuh muka. Di sekujur raganya tak tertangkap aroma wewangian.
“Tidak ada yang peduli dengan saya, rasanya sakit semua badan ini, Nak” ujarnya terisak.
Meskipun tinggal di Ring 1 lapangan Sukowati, namun tidak pernah sekalipun bantuan dari pemerintah desa, pemerintah kabupaten. Bahkan juga dari operator migas, yang dia dengar, gemar memberi bantuan kesehatan kepada warga desa sekitar. Jangankan pemeriksaan kesehatan rutin, pemberian makanan bergizi saja belum pernah diterimanya.
Siang itu Mbah Kaenah tengah terjaga. Matanya menerawang menatap atap rumahnya. Dinding kamarnya dari kayu terlihat lobang di sana sini. Jika udara panas, masih bisa dia tahan, namun jika sudah musim penghujan datang angin selalu mengirim gigil dingin.
Tubuh ringkihnya terlihat rapuh melawan cuaca, apalagi di saat malam tiba. Tidak ada selimut, bahkan untuk buang air besar atau kencing pun dilakukannya di tempat tidur. Untungnya masih ada pembalut khusus lansia yang sudah tertata di bawah badannya.
Setiap hari perempuan bertubuh kurus itu hanya mendapatkan kunjungan, dan makanan dari salah satu saudara yang tinggal jauh dari rumahnya. Makanan yang dikirim hanya pagi dan siang hari, itupun hanya sebentar saja, meletakkan nasi dan lauk di dekat bantal kemudian pergi begitu saja.
“Cucu saya itu cacat, masih bersyukur mau mengantar makanan, dan minuman,” tukasnya. Dia akui itu cucunya, sekalipun bukan cucu secara genetis karena sepanjang hidup dirinya tak dikaruniai anak.
Apa yang menimpa Mbah Kaenah mengudang simpati tetangganya. Diantaranya adalah Karyono (35). Dia selalu menyempatkan diri menengok, dan mengantarkan pisang atau makanan lain yang dia miliki.
“Yang sering mengunjungi ya istri saya, atau ibu-ibu lainnya yang rumahnya dekat dengan rumah Mbah Kaenah,” kata Karyono. Baginya, sedah jadi kebiasaan kalau orang desa biasa saling bantu membantu sesama yang didera kesulitan.
Keprihatinan akibat terpuruknya nasib warganya itu tak begitu serius disikapi Pemdes Ngampel. Pemdes jarang sekali memperhatikannya. Jangankan memberi bantuan obat-obatan, beras saja harus menantikan tali asih dari JOB PPEJ.
“Ini saja tali asih juga belum turun-turun, kan lumayan kalau bisa diberikan saudaranya yang sering membantu itu,” imbuh Karyono.
Bantuan dari Polindes Ngampel berupa pemeriksaan dan obat-obatan gratis, nyatanya tak sampai di tangannya. Kesejahteraan untuk warga Ngampel yang masuk desa terdekat lapangan Sukowati, rupanya masih jauh dari harapannya.
“Kami sudah berikan bantuan kesehatan, tapi kalau siapa yang mengurusnya ya bukan tanggung jawab desa. Apalagi, dia itu punya pensiunan dari suaminya yang sudah meninggal,” kata Sekretaris Desa Ngampel,
Almarhum Jaswadi, suaminya, menurut Ketua RW setempat Karyono, dulu pegawai rendahan di Dinas Kesehatan. Akan tetapi setelah meninggal tak ada yang membantu menguruskan pensiunannya. Jadinya sang istri tak bisa menikmati dana pensiun atas pengabdian suaminya kepada pemerintah.
Data dari Pemdes Ngampel menyebut, Mbah Kaenah merupakan bagian dari 51 Kepala Keluarga (KK) rumah tangga sangat miskin di tahun 2013-2014. Angka kemiskinan di desa minyak ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Tahun 2011 jumlahnya sebanyak 200 KK, tahun 2012 angkanya menurun menjadi 191 KK.
Sebenarnya pihak Pemkab Bojonegoro telah memiliki program untuk membantu para Lansia di wilayahnya. Teknis pemberiannya melalui pengajuan proposal dari Pemdes ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sosial (Disnakertransos).
Sedangkan bantuannya berupa dana kebutuhan hidup sehari-hari sebesar Rp100.000 per bulan selama 10 bulan. Sehingga total dana dari APBD Bojonegoro dalam setahun (10 bulan) sebanyak Rp1.000.000 per Lansia.
“Untuk Mbah Kaenah dari Desa Ngampel itu sepertinya tidak ada bantuan, karena desa tidak mengajukan,” kata Kepala Disnakertransos Bojonegoro, Adi Witcaksono
Sementara itu Field Adminitration Superintendant JOB PPEJ, Basith Syarwani, menyatakan, selama ini belum ada program sosial terutama bagi Lansia di desa sekitar ring 1. “Setahu saya, selama ini tidak ada,” tukas Basith Syarwani.
Siang masih demikian terik di lapangan Migas Sukowati. Mbah Kaenah masih sendiri. Di kamarnya memandangi atap, dan lobang dinding ruang